By: Andi Agus Mumang, S.KM
Kaidah kesesatan adalah dengan
mengatakan tentang Allah tanpa pengetahuan.
Penjelasan :
Kaidah umum kesesatan berkata
tentang Allah tanpa pengetahuan (mengada-ada terhadap Allah). Berkata tentang
Allah tanpa pengetahuan, maka dosanya lebih besar daripada syirik, sebagaimana
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Katakanlah, ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’”(QS Al-A’raf: 33)
Berkata tentang Allah dengan
mengada-ada (tanpa pengetahuan/tanpa hujjah) lebih berat dosanya daripada
berbuat syirik kepada Allah. Maka jelas bahwa hal tersebut sangat tidak
diperkenankan bagi seseorang terutama seorang muslim yang mengaku beriman
kepada Allah dengan ikhlas. Beberapa diantara perkara mengada-ada terhadap
Allah adalah seperti mengatakan bahwa Allah mengharamkan ini dan menghalalkan
itu, atau mengatakan bahwa Allah mensyariatkan ini dan tidak mensyariatkan itu
tanpa adanya hujjah yang nyata atau tanpa dilandasi oleh ilmu pengetahuan yang
benar dan lurus. Perbuatan seperti ini sama halnya mendustakan Allah subhanahu wa ta’ala , sebagaimana dalam
firman-Nya, Dia menjelaskan :
“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang membuat –buat dusta
terhadap Allah dan mendustakan kebenaran yang datang kepadanya? Bukankah di
Neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang kafir? ” (QS
Qz-Zukhruf: 32)
Ayat diatas jelas menunjukkan
kepada kita larangan berkata tentang Allah tanpa pengetahuan (mengada-ada
persoalan Allah/berdusta terhadap Allah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanyakan kepada beliau
tentang suatu perkara, sedang perkara tersebut belum diwahyukan oleh Allah
penjelasannya, maka beliau menangguhkan menjawab perihal perkara tersebut
hingga datang wahyu dari Allah subhanahu
wa ta’ala. Lantas, bagaimana kita sebagai orang yang bukan Nabi dan juga
bukan Rasul? Seorang yang berilmu akan selalu berhati-hati dalam setiap
ucapannya. Dia tidak gegabah dalam berkomentar pada setiap perkara yang ia
belum sempat ketahui. Bahkan ketika ia mendapati ketidakjelasan pada suatu
masalah dan belum sempat menemukan dalil yang sesuai baik dari Al-Qur’an maupun
As-Sunnah maka ia akan berkata “Saya tidak tahu”. Sungguh, inilah kemuliaan seorang yang
berilmu dan bukanlah suatu hal yang merendahkannya manakala ia berkata tidak
tahu pada perkara yang memang ia tidak punya pengetahuan terhadapnya. Justru hal
ini akan menambah kedudukannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala disebabkan ia telah menyelamatkan sautu perkara
dari fitnah.
Imam Malik rahimahullah
pernah ditanya tentang 40 masalah, lalu ia menjawab sebagainnnya dan mengatakan
terhadap sebagian lainnya, “Saya tidak tahu”.
Lalu yang bertanya kepada beliau berkata,”Saya telah datang dari negeri
yang amat jauh, melewati banyak penderitaan dalam perjalanku, namun engkau
banyak menjawab pertanyaanku dengan perkataan : saya tidak tahu?” Lalu Imam
Malik berkata kepadanya, “Naiklah kendaraanmu, pergilah ke negeri asalmu dan
katakanlah kepada penduduk di negerimu bahwa saya bertanya kepada Imam Malik
dan dia menjawab : Saya tidak tahu”. Demikianlah sikap seorang yang berilmu. Berkata
hanya pada apa yang ia ketahui dan tidak memaksakan pada apa yang ia tidak
ketahui. Inilah karekter Ahlul Ilmi yang menunjukkan ketakutannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan inilah
sebenarnya sikap yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Apalagi ketika hal
tersebut menyangkut perkara yang ghoib, misalnya perkara tentang Allah. Maka,
tidak boleh seenak jidadnya kita berpendapat ini dan itu tentang-Nya yang sama
sekali tidak ada penjelasannya dalam Al- Qur’an dan As-Sunnah. Persoalan yang
ghoib adalah kepunyaan Allah. Maka ketika kita hendak membahas tentang perkara
yang ghoib maka harus dalam bimbingan Allah subhanahu
wa ta’ala melalui apa yang dijelaskan-Nya pada firman-firman-Nya dan juga
hadist-hadist-Nya. Wallahu a’lam.
Referensi
: Kitab Problematika Umat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang di syarah oleh
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah.
No comments:
Post a Comment