Search Blog

Translate

SPONSOR

Thursday, December 15, 2016

BERKATA TENTANG ALLAH TANPA PENGETAHUAN : SESATKAH?


By: Andi Agus Mumang, S.KM
Kaidah kesesatan adalah dengan mengatakan tentang Allah tanpa pengetahuan.

Penjelasan :

Kaidah umum kesesatan berkata tentang Allah tanpa pengetahuan (mengada-ada terhadap Allah). Berkata tentang Allah tanpa pengetahuan, maka dosanya lebih besar daripada syirik, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

Katakanlah, ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui(QS Al-A’raf: 33)

Berkata tentang Allah dengan mengada-ada (tanpa pengetahuan/tanpa hujjah) lebih berat dosanya daripada berbuat syirik kepada Allah. Maka jelas bahwa hal tersebut sangat tidak diperkenankan bagi seseorang terutama seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah dengan ikhlas. Beberapa diantara perkara mengada-ada terhadap Allah adalah seperti mengatakan bahwa Allah mengharamkan ini dan menghalalkan itu, atau mengatakan bahwa Allah mensyariatkan ini dan tidak mensyariatkan itu tanpa adanya hujjah yang nyata atau tanpa dilandasi oleh ilmu pengetahuan yang benar dan lurus. Perbuatan seperti ini sama halnya mendustakan Allah subhanahu wa ta’ala , sebagaimana dalam firman-Nya, Dia menjelaskan :

Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang membuat –buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran yang datang kepadanya? Bukankah di Neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang kafir? ” (QS Qz-Zukhruf: 32)

Ayat diatas jelas menunjukkan kepada kita larangan berkata tentang Allah tanpa pengetahuan (mengada-ada persoalan Allah/berdusta terhadap Allah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanyakan kepada beliau tentang suatu perkara, sedang perkara tersebut belum diwahyukan oleh Allah penjelasannya, maka beliau menangguhkan menjawab perihal perkara tersebut hingga datang wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala. Lantas, bagaimana kita sebagai orang yang bukan Nabi dan juga bukan Rasul? Seorang yang berilmu akan selalu berhati-hati dalam setiap ucapannya. Dia tidak gegabah dalam berkomentar pada setiap perkara yang ia belum sempat ketahui. Bahkan ketika ia mendapati ketidakjelasan pada suatu masalah dan belum sempat menemukan dalil yang sesuai baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah maka ia akan berkata “Saya tidak tahu”.  Sungguh, inilah kemuliaan seorang yang berilmu dan bukanlah suatu hal yang merendahkannya manakala ia berkata tidak tahu pada perkara yang memang ia tidak punya pengetahuan terhadapnya. Justru hal ini akan menambah kedudukannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala disebabkan ia telah menyelamatkan sautu perkara dari fitnah. 

Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang 40 masalah, lalu ia menjawab sebagainnnya dan mengatakan terhadap sebagian lainnya, “Saya tidak tahu”.  Lalu yang bertanya kepada beliau berkata,”Saya telah datang dari negeri yang amat jauh, melewati banyak penderitaan dalam perjalanku, namun engkau banyak menjawab pertanyaanku dengan perkataan : saya tidak tahu?” Lalu Imam Malik berkata kepadanya, “Naiklah kendaraanmu, pergilah ke negeri asalmu dan katakanlah kepada penduduk di negerimu bahwa saya bertanya kepada Imam Malik dan dia menjawab : Saya tidak tahu”. Demikianlah sikap seorang yang berilmu. Berkata hanya pada apa yang ia ketahui dan tidak memaksakan pada apa yang ia tidak ketahui. Inilah karekter Ahlul Ilmi yang menunjukkan ketakutannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan inilah sebenarnya sikap yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Apalagi ketika hal tersebut menyangkut perkara yang ghoib, misalnya perkara tentang Allah. Maka, tidak boleh seenak jidadnya kita berpendapat ini dan itu tentang-Nya yang sama sekali tidak ada penjelasannya dalam Al- Qur’an dan As-Sunnah. Persoalan yang ghoib adalah kepunyaan Allah. Maka ketika kita hendak membahas tentang perkara yang ghoib maka harus dalam bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala melalui apa yang dijelaskan-Nya pada firman-firman-Nya dan juga hadist-hadist-Nya. Wallahu a’lam.

Referensi : Kitab Problematika Umat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang di syarah oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah.

No comments:

Post a Comment

Popular Posts